Bahaya Ghibah
Sesungguhnya lisan merupakan organ
tubuh yang sangat penting karena ialah yang menta’bir (mengungkapkan) apa yang
terdapat dalam hati seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah
bosan berucap, jika seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka
ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya
mengucapkan keburukan-keburukan maka ia akan ditimpa dengan bencana dan
malapetaka, dan inilah yang lebih banyak terjadi. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Mayoritas dosa seorang anak Adam adalah pada
lisannya[1]
Oleh karena
itu lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat
manusia ke dalam api neraka.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:zang paling banyak memasukkan manusia
ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[2]
Sesungguhnya penyakit-penyakit yang
timbul karena lisan yang tidak terkendali sangatlah banyak, namun di sana ada
sebuah penyakit yang paling merajalela dan menjangkiti kaum muslimin. Penyakit
tersebut terasa sangat ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk
didengarkan[3] (bagi orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa syaitan),
namun dosanya sangatlah besar….penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan
saudara sesama muslim)[4]
Betapa banyak persahabatan dua
sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan ghibah…???
Betapa banyak kedengkian yang tumbuh
dan berkobar di dada-dada kaum muslimin dikarenakan ghibah…???
Betapa banyak permusuhan terjadi
diantara kaum muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???
Dan betapa
banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah
yang dilakukannya…???
Serta betapa banyak orang yang
disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang dilakukannya…???
Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-
Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-
Banyak kaum muslimin yang mampu
untuk menjalankan perintah Allah ta’ala dengan baik, bisa menjalankan
sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mampu untuk menjauhkan
dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam
setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun…..mereka tidak mampu menghindarkan
dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu
tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu
menghindarkan diri mereka dari ghibah
Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan merupakan
perkara yang aneh adalah mudah bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari
memakan makanan yang haram, menjauhkan dirinya dari perbuatan dzolim, zina,
mencuri, memimum minuman keras, memandang pada perkara-perkara yang diharamkan
baginya, dan perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk
menjaga gerak-gerik lisannya. Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang
dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun ia
mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah dan dia tidak
perduli dengan ucapannya tersebut sehingga iapun terperosok ke neraka lebih
jauh dari jarak antara timur dan barat hanya dikarenakan satu kalimat. Betapa
banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam menjauhi
perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun lisannya ceplas-ceplos
menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat dan
dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]
Berkata
Al-Ghozaali, “Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati para salaf, dan
mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa dan tidak juga
pada sholat, akan tetapi mereka memandangnya pada sikap menahan diri dari
(melecehkan) harkat dan harga diri manusia”[7]
Sebagian orang yang dikenal
berpegang teguh dengan sunnah dan berdakwah menyeru kepada sunnah, serta
memiliki semangat untuk membantah ahlul bid’ah –yang hal ini merupakan perkara
yang sangat dituntut dalam syariat- namun yang sangat disayangkan, mereka
tatkala terbiasa membantah ahlul bid’ah dan membicarakan kejelekan-kejelekan mereka,
akhirnya terbiasa pula dengan bergihbah ria membicarakan kejelekan-kejelekan
saudara-saudara mereka sendiri sesama ahlus sunnah. Sebagaimana perkara
mengghibah ahlul bid’ah merupakan hal yang biasa akhirnya menggibah
saudara-saudara merekapun sesama ahlus sunnah menjadi hal yang lumrah dan
biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka lupa bahwa
mengghibah ahlul bid’ah merupakan rukhsoh yang diberikan oleh syari’at karena
ada kemaslahatan yang diperoleh dan itupun harus sesuai dengan kaidah-kaidah
syari’at, dan hal ini tidaklah bisa disamakan dengan mengghibah sesama Ahlus
sunnah.
Oleh karena itu penulis mencoba
untuk menjelaskan bahaya penyakit ini dan hukum-hukum seputar penyakit ini
untuk mengingatkan penulis pribadi akan bahaya ghibah dan juga mengingatkan
para saudaraku kaum muslimin.
Allah ta’ala benar-benar telah
mencela penyakit ghibah dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah
dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di :
“Kemudian Allah ta’ala menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang)
lari dari gibah. Allah ta’ala berfirman: Dan janganlah sebagian kalian
mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan
daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka
bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha
Pengasih. (Al Hujurat 12)
Allah ta’ala
telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging saudara (yang
digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh
jiwa-jiwa manusia sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci
memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian
pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam
keadaan hidup”.[8] Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan,
namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita.
Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu:
Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash
radliyallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan
keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan
daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia
memakan daging saudaranya (yang muslim)”[9]. Syaikh Salim Al-Hilaly berkata :
“..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan
untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir
atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah)
saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin
bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena
sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika zelah
menjadi bangkai…” [10]
Definisi
ghibah
Dari Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu
bahwsanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tahukah kalian
apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih
mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Yaitu engkau
menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada
padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang
sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau
sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[11]
Hal ini juga telah dijelaskan oleh
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:
Dari Hammad
dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :”Ghibah adalah
engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau
mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan” [12]
Dari hadits ini para ulama
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah :”Engkau menyebutkan
sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan
membencinya”. Dan hadits ini umum mencakup apa saja yang dibenci oleh
saudaramu[13]. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang
ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada
agamanya atau pada masalah duniawinya, tentang anaknya, saudaranya, atau
istrinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia
goib (tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan
aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh
karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib
tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui
bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah
yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”[14].
Adapun menyebutkan kekurangannya
yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu : “Dia
buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki
meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu
orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”,
“Dia pendek” dan lain sebagainya.
Dari Abu
Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita
lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut)
pendek”….maka Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [15]
Dari ‘Aisyah
beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Cukup
bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah mengatakan
Sofiyah pendek”. Maka Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
:”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat
tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya” [16]
Dari Jarir
bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia berkata
:”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah”,
sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu”[17]
Ibnu Sirin pernah berkata, “Jika
seseorang benci jika engkau berkata kepadanya, “Rambutmu keriting” maka
janganlah engkau menyebutkan hal itu”[18]
Adapun pada nasab misalnya engkau
berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia
keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada
akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”,
“Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu
orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”.
Adapun pada
agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum
khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan
zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak
berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Dan menggibahi seseorang dengan menyebutkan
perkara-perkara yang berkaitan dengan agamanya merupakan ghibah yang sangat
keji.
Berkata
Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah
yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama
(seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang
terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya
daripada jika disinggung (cacat) tubunya”[19]
Adapun pada perbuatannya yang
menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya
adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan
orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.
Imam Baihaqi
meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah menyampaikan kepada kami
Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam
keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”,
aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mintalah
resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang
lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian
dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi
dia (tabib yang pertama)”. [20]
Termasuk ghibah yaitu seseorang
meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau
pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya
dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan
dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :
‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru
(kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru
(kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian” [21]
Termasuk ghibah yaitu seorang
penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan
telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan
mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk
menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan
lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan
menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang
‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib
yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.
Demikian pula jika seorang penulis
berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau suatu
jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan atau
kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini
bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau
kaum tertentu atau jama’ah tertentu. [22]
Ghibah itu bisa dengan perkataan
yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat dengan perkataan atau
isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa dipahami
bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu
jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala
puji bagi Allah ta’ala yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga
Allah ta’ala melindungi kita dari memakan harta manusia dengan kebatilan”, atau
yang lainnya, sebab orang yang mendengar perkataan engkau itu faham bahwasanya
berarti orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek.[23]
Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada
ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab
engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek
orang yang disebutkan namanya tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar