Keluarga
Sederhana bahagia
Pembaca yang budiman, siapa yang
tidak mau mempunyai keluarga yang bahagia, akan tetapi pada hakekatnya seperti
apakah keluarga bahagia itu? Apakah keluarga yang bahagia itu yang semua
kebutuhan, semua yang diinginkan dapat kita peroleh atau apa semua yang kita
harapkan dapat terkabul? Untuk mencari tahu jawabanya sebelumnya mari kita
baca, kita simak dan kita pahami betul kisah dari salah satu keluarga
dari
sahabat rasulullah sekaligus sebagai menantu beliau yaitu keluarga Ali Bin Abi
Talib ra.
Pembaca yang dirahmati Allah SWT, meski berkedudukan sebagai
kepala rumah tangga, Ali tidak sungkan untuk melakukan pekerjaan yang umumnya
dilakukan oleh kaum wanita. Keluarga yang sakinah mawadah warahmah adalah keluarga
yang taat syariah. Keluarga tersebut senantiasa diliputi dengan ketenangan,
kebahagiaan, dan kasih sayang sudah pasti akan diliputi keharmonisan dan jauh
dari konflik. Segala persoalan dalam rumah tangga diselesaikan dengan penuh
kesabaran, keikhlasan, dan ketaatan kepada Allah SWT. dan bukan dengan jalan emosional, keputusasaan, dan maunya menang
sendiri.
Pertanyaannya, adakah
keluarga semacam itu? Ada, dan tidak lain adalah keluarga Rasulullah Saw. Tanpa
mengurangi rasa kagum pada cara Rasul memimpin istri dan anak-anaknya, kali ini
kita tidak membahas tentang rumah tangga Rasulullah akan tetapi kita akan
membahas rumah tangga yang mencontoh dari rumah tangga beliau, yaitu profil rumah
tangga putri beliau, Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Ya, keluarga
mereka juga patut menjadi cermin keluarga harmonis yang selalu diliputi
kebahagiaan dan kedamaian. Fatimah yang giat beribadah Fathimah adalah putri
keempat Rasulullah SAW Dan Khadijah Al-Kubra. Dalam kehidupan berumah tangga,
ia adalah seorang figur dan dalam hal beribadah kepada Allah ia juga dikenal
sebagai teladan. Setelah selesai dari semua kewajiban sebagai ibu rumah tangga,
Fatimah akan dengan penuh khusyuk dan rendah hati beribadah kepada Allah serta
berdoa untuk kepentingan orang lain. Imam Shadiq meriwayatkan dari
kakek-kakeknya bahwa Imam Hasan bin Ali berkata,
"Di setiap malam Jumat, ibuku beribadah hingga fajar
menyingsing. Ketika ia mengangkat tangannya untuk berdoa, ia selalu berdoa untuk
kepentingan orang lain dan ia tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri sebelum
mendo’akan orang lain. Suatu hari aku bertanya kepadanya, 'Ibu, mengapa kau
tidak pernah berdoa untuk diri Anda sendiri sebagaimana kau mendoakan orang
lain?' 'Tetangga harus didahulukan, wahai putraku,' jawabnya singkat."
Saling Bahu Menjalankan Tugas Suami Istri Fatimah dan Ali
senantiasa saling bahu dalam menegakkan tiang kehidupan rumah tangga yang
selalu dilandaskan pada hubungan cinta kasih, tolong menolong, kerja sama, dan
saling menghormati. Pada suatu hari, Fatimah jatuh sakit. Ali pun sedih. Ali
menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan Fatimah dan menggantikan tugasnya
selama sakit. "Beristirahatlah agar sakitmu segera hilang," katanya kepada
Fatimah. "Aku telah cukup beristirahat, sampai-sampai aku malu apabila
melihatmu mengerjakan tugas-tugas seorang ibu," jawab Fatimah dengan suara
lirih. "Jangan pikirkan itu. Bagiku semua itu sangat menyenangkan.
Lagipula, setelah engkau sembuh nanti, semua tugas, engkaulah yang akan
mengerjakannya," ujar Ali. "Wahai istriku, adakah engkau menginginkan
sesuatu?" tanya Imam Ali dengan tiba-tiba. Fatimah terdiam sebentar,
kemudian berkata, "Sesungguhnya sudah beberapa hari ini aku menginginkan buah
delima." "Baiklah, aku akan membawakannya untukmu dengan rezeki yang
diberikan Allah kepadaku," kata Ali sambil bersiap keluar rumah. Ali
langsung menuju pasar meskipun dengan uang pas-pasan.
Pembaca yang budiman, kisah tersebut di atas sudah sepatutnya
dapat menginspirasi suami istri untuk saling menghargai. Meski berkedudukan
sebagai kepala rumah tangga, Ali tidak sungkan untuk melakukan pekerjaan yang
umumnya dilakukan oleh kaum wanita. Ini merupakan tanda bukti kecintaan Ali
pada istri yang sangat disayanginya. Sebaliknya, Fatimah juga selalu memberi
dukungan penuh terhadap suaminya ketika sedang menjalankan tugas negara atau
segala hal yang berhubungan dengan perjuangan menegakkan ajaran Islam.
Selain itu, Fatimah juga dikenal sebagai pribadi yang mau
mengesampingkan kepentingan dirinya demi perjuangan Islam serta semua
ajarannya. Saat Menghadapi Krisis Ekonomi, pernah tiga hari Fatimah tidak makan
dan ketika Ali melihatnya pucat, ia berkata, "Ada apa denganmu wahai
Fatimah?" Fatimah menjawab, "Selama 3 hari kami tidak ada (makan) apa-apa
di rumah". Ali berkata, "Kenapa kamu tidak memberitahu aku?"
Fatimah menjawab, "Pada malam pertama, ayahku Rasulullah SAW. berkata
kepadaku: 'Wahai Fatimah, jika Ali datang membawa sesuatu makanlah, jika tidak
jangan kamu minta.'" Rupanya Fatimah mengerti benar posisi Ali pada saat
itu. Kesibukan Ali dalam berdakwah dan berjihad membuat Fatimah tidak mau
mengusiknya dengan masalah ekonomi rumah tangga agar konsentrasi suaminya tidak
terpecah. Pengertian dan kesabaran Fatimah bukanlah hal yang tanpa pemahaman, mana yang termasuk kesesangsaraan dan mana
yang termasuk amalan baik. Menahan lapar apabila dikerjakan karena Allah SWT,
dan diniatkan agar suami tidak terbebani maka akan menjadi amalan yang mendapatkan
pahala besar dari-Nya. "Isyarat penting dalam kisah tersebut adalah bahwa persoalan
ekonomi dan tekanan kebutuhan rumah tangga tidak harus menjadi hal yang
menimbulkan konflik.
Segala persoalan rumah tangga apabila diselesaikan dengan penuh
sakinah mawadah warahmah (ketenangan, kebahagiaan, dan kasih sayang), isnya
Allah akan membuat hubungan suami istri tetap harmonis..." Pada suatu
kesempatan, Ali bertanya kepada Fatimah mengenai boleh tidaknya ia mendapatkan
pembantu dari Rasulullah SAW. Ketika Fatimah datang ke rumah ayahnya, banyak
tamu yang datang menemui beliau sehingga Fatimah tidak bisa mengutarakan
maksudnya. Keesokan harinya, Rasulullah datang ke rumah Ali dan Fatimah. Ketika
Rasulullah SAW. bertanya kepada Fatimah tentang maksud kedatangannya kemarin,
Fatimah diam saja. Karenanya, Ali pun menceritakan hal yang dimaksud namun
Rasulullah SAW, tidak mengabulkan keinginan mereka untuk memiliki pembantu
tersebut. Rasul SAW bersabda, "Bertakwalah kepada Allah, tunaikanlah
tugasmu terhadap-Nya, lakukan pekerjaan rumahmu seperti biasa, ucapkanlah
subhanallah, alhamdulillah dan Allahu Akbar, ucapan ini akan lebih membantu
kalian daripada seorang budak." Ketika Ali dan Fatimah berbeda pendapat, Kehidupan
harmonis Ali dan Fatimah juga pernah mengalami perselisihan. Suatu ketika, Ali
pernah berbuat kasar kepada Fatimah. Fatimah kemudian mengancam Ali, "Demi
Allah, aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah SAW!" Fatimah pun pergi
kepada Nabi SAW. dan Ali mengikutinya. Sesampainya di hadapan Rasul, Fatimah
mengeluhkan tentang kekasaran Ali. Nabi SAW. pun memberikan nasehat untuk
bersabar, "Wahai putriku, dengarkanlah, pasang telinga, dan pahami bahwa
tidak ada kepandaian sedikit pun bagi wanita yang tidak membalas kasih sayang
suaminya ketika dia tenang." Ali berkata, "Kalau begitu, aku akan
menahan diri dari yang telah kulakukan." Fatimah pun berkata, "Demi
Allah, aku tidak akan berbuat apapun yang tidak kamu sukai." Disebutkan
juga dalam riwayat lain bahwa pernah terjadi pertengkaran antara Ali dan
Fatimah. Lalu Rasulullah SAW datang dan Ali menyediakan tempat untuk Rasulullah
SAW untuk berbaring. Kemudian Fatimah datang dan berbaring di samping Nabi SAW.
Ali pun berbaring di sisi lainnya. Rasulullah SAW mengambil tangan Ali dan
meletakkannya di atas perut beliau, lalu beliau mengambil tangan Fatimah dan
meletakkannya di atas perut beliau. Selanjutnya beliau mendamaikan keduanya
sehingga rukun kembali, Setelah itu barulah beliau keluar. Ada orang yang
melihat kejadian itu lalu berkata kepada Rasulullah Saw., "Tadi engkau masuk
dalam keadaan demikian (murung), lalu engkau keluar dalam keadaan berbahagia di
wajahmu." Ia menjawab, "Apa yang menahanku dari kebahagiaan, jika aku
dapat mendamaikan kedua orang yang paling aku cintai?" Istri mana yang
tidak mengharapkan belaian mesra dari seorang suami. Namun bagi Fatimah,
saat-saat berjauhan
dengan
suami adalah satu kesempatan berdampingan dengan Allah SWT untuk mencari kekasih-Nya
dalam ibadah- ibadah yang ia lakukan.
Pembaca yang budiman, sepanjang kepergian Ali, hanya anak-anak
yang masih kecil yang menjadi temannya. Nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya
(Hassan, Hussein, Muhsin, Zainab, dan Umi Kalsum) diusahakannya sendiri. Untuk
mendapatkan air, dia berjalan jauh dan menimba dari sumur yang 40 hasta
dalamnya di tengah sinar matahari padang pasir yang terik. Kadangkala harus menahan
lapar sepanjang hari. Bahkan ia sering juga berpuasa yang membuat tubuhnya
kurus hingga menampakkan tulang di dadanya. Pernah suatu hari, ketika ia sedang
asyik bekerja menggiling gandum, Rasulullah datang berkunjung ke rumahnya.
Fatimah yang amat keletihan ketika itu meceritakan problem rumah tangganya. Ia
bercerita betapa dirinya telah bekerja keras, menyaring tepung, mengangkat air,
memasak, serta melayani kebutuhan anak-anak. Ia berharap agar Rasulullah dapat menyampaikan
kepada Ali agar Ali mencarikannya seorang pembantu, Rasulullah SAW merasa
kasihan terhadap permasalahan rumah tangga anakanya itu. Namun beliau sangat
tahu, sesungguhnya Allah memang menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya sewaktu di
dunia untuk memudahkannya di akhirat. Mereka yang rela bersusah payah dengan
ujian di dunia demi mengharapkan keridhaan-Nya adalah orang yang akan mendapat
tempat di sisi-Nya. Lalu dibujuknya Fatimah sambil memberi harapan dengan
janji-janji Allah. Beliau mengajarkan zikir, tahmid, dan takbir yang apabila diamalkan,
segala permasalahan dan beban hidup akan terasa ringan.
Pembaca yang dirahmati Allah SWT ketaatannya kepada Ali akan
menyebabkan Allah SWT mengangkat derajatnya. Sejak saat itu, Fatimah tidak
pernah mengeluh dengan kekurangan dan kemiskinan keluarganya. Ia juga tidak
meminta sesuatu yang dapat menyusahkan suaminya. Dalam kondisi itu, kemiskinan
tidak menghilangkan semangat Fatimah untuk selalu bersedekah. Ia tidak sanggup
kenyang sendiri apabila ada orang lain yang kelaparan. Ia tidak rela hidup
senang di kala orang lain menderita. Bahkan ia tidak pernah membiarkan pengemis
melangkah dari pintu rumahnya tanpa memberi sesuatu, meskipun dirinya sendiri
sering kelaparan. Pernah suatu hari Fatimah menyebabkan Ali kesal, menyadari kesalahannya,
Fatimah segera meminta maaf berulang kali. Fatimah selalu teringat akan nasihat
Rasulullah, "Wahai Fatimah, kalaulah di kala itu engkau mati sedang Ali
tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menshalatkan jenazahmu." Ketika
dilihatnya air muka suaminya tidak juga berubah, ia pun berlari-lari seperti
anak kecil mengelilingi Ali dan meminta dimaafkan. Melihat aksi istrinya
tersebut, Ali tersenyumlah dan lantas memaafkan istrinya itu. Begitulah rumah
tangga Fatimah dan Ali. Sungguh sebuah potret rumah tanggal sakinah, mawadah,
warahmah yang patut ditiru.
Pembaca yang budiman, ternyata keluarga yang bahagia bukanlah
keluarga yang kebutuhan rumah tangganya dapat terpenuhi sesuai dengan
keinginannya apalagi sesuai dengan hasrat nafsunya, akan tetapi suatu rumah
tangga yang didasari dengan keimanan dan keyakinan kepada Allah dan apapun yang
dikerjakan hanya berharap mendapatkan keridhaan-Nya, sesungguhnya seperti
itulah yang dapat mengantarkan keluarga menjadi Sakinah, Mawadah, warahmah.
Semoga kita dapat mewujudkan rumah tangga kita seperti halnya
keluarga Ali dan Fatimah. Amin...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar